Kita VS Beauty Standard
“Kulitmu iteman ya?”
“Kamu kok gendutan?”
“Lebaran naik berapa kilo?”
“Kamu kok jerawatan sih.”
“Kamu beda banget ya sama
adikmu.”
“Coba deh kamu langsingan dikit
pasti cantik.”
Familiar? Kalau iya, sudah berapa
kali kalian dituntut untuk seperti “perempuan kebanyakan”? Yang ingin
kutanyakan adalah memangnya “perempuan kebanyakan” itu yang seperti apa? Yang
putih? Yang langsing? Yang tinggi? Yang feminin? Yang kemana-mana selalu pakai
rok? Atau yang keluar rumah selalu well-dressed dan mukanya terlapisi make-up
dengan apik?
Lalu, ketika ada perempuan yang
penampilannya berkebalikan 180֯ dengan beauty standard, langsung menuai kritikan. Sebenarnya siapa sih yang menciptakan beauty standard? Siapa
yang memberi patokan kalau cantik harus putih?
Sebenarnya, tidak ada standard
untuk sebuah kecantikan. Kita sendiri yang terbelenggu dengan stigma masyarakat
kalau cantik harus inilah harus itulah. Kita sudah terbiasa didoktrin dengan melihat
model yang badannya langsing dan berkulit putih sehingga kita secara tidak
sadar menjadikannya sebagai kiblat kecantikan. Bahwa yang namanya cantik ya
seperti itu. Bukan cuma itu saja, brand-brand kosmetik, bahkan di
Indonesia pun jarang yang menggunakan figure “perempuan biasa”. Mereka
lebih sering menggunakan brand ambassador yang memenuhi kriteria beauty
standard. Produk-produk kecantikan dengan unsur whitening pun tidak
jarang ditemukan. Padahal, faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia berkulit
sawo matang. Itu bahkan baru mayoritas! Selebihnya, masih banyak orang
Indonesia yang kulitnya jauh lebih gelap dari sawo matang. Kalian tidak pernah
tau susahnya mereka menemukan shade untuk kulit mereka. Bahkan, produk local
saja tidak menyediakan produk yang sesuai dengan warna kulit mereka. Mereka
justru dituntut untuk menggunakan produk whitening alih-alih menanamkan
rasa percaya diri dengan warna kulit asli mereka. Apa sebenarnya tujuan mereka?
Memanfaatkan insecurities hanya untuk menarik keuntungan?
Masalahnya sekarang, kita ini
bisa apa? Di masyarakat, orang cantik memang lebih diagungkan. Lebih mendapat
banyak perhatian, lebih sering menjadi pusat perhatian. Seolah-olah kita ini
memang dituntut untuk menjadi cantik agar hidup kita menjadi lebih mudah.
Banyak juga kan perusahaan yang meng-interview karyawannya berdasarkan
penampilan. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa bukan kita yang mengubah dunia,
tetapi dunia yang mengubah kita.
Pernah dengar “cinta pada pandangan pertama” atau “dari mata turun ke hati”? Saya tidak habis pikir, bahkan urusan hati saja datangnya dari penampilan. Dan banyak orang salah menyangka bahwa cinta pada pandangan pertama itu merupakan cinta sejati. Bullshit. Menurut saya, cinta pada pandangan pertama hanyalah cinta yang didasarkan atas penampilan saja. Orang yang mengikrarkan cinta berlandaskan kalimat “cinta pada pandangan pertama” hanya mencintai rupa karena memang hanya itulah yang bisa dilihat oleh mata. Tampak luar tanpa tau tampak dalam.

Komentar
Posting Komentar