Against Sexual Harassment
Belum lama ini ada berita
mengenai karyawan Starbucks yang mengintip payudara pelanggannya sendiri,
bahkan kasus ini sempat viral karena si pelaku menyebarkan video
meng-“intip”-nya itu ke internet. Kasus sexual harassment seperti ini
bukan sekali dua kali terjadi, tetapi sudah berkali-kali. Hal yang saya tidak
habis pikir adalah banyak orang yang setelah mendengar berita ini kemudian
melontarkan komentar, “salahnya pake baju terbuka,” atau “perempuannya dulu
kalik yang mengundang dengan pake baju seperti itu.” Iya, kan? Kalau kalian
sependapat dengan komentar di atas, silakan, tetapi saya tidak. Menurut
saya pakaian korban bukan merupakan penyebab tindakan asusila tersebut terjadi.
Pakaian korban hanya sebagai katalisator bukan penyebab. Saya mengatakan
demikian ada alasannya. Sebenarnya mudah untuk menemukan penyebab kasus sexual
harassment. Kita cukup menghapus satu-satu faktor yang kita anggap sebagai
penyebab. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan. Pertama, keinginan pelaku sendiri
yang ingin melakukan pelecehan seksual. Kedua, baju yang dipakai korban.
Semisal baju yang dipakai korban sopan dalam artian tidak “mengundang”,
pelecehan seksual tetap akan terjadi. Tidak percaya? Baru 6 bulan yang
lalu, ada kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak kecil berumur 10
tahun, bahkan pelakunya adalah ayahnya sendiri. Setahun yang lalu, kekerasan
seksual juga dialami oleh anak yang bahkan baru berusia 3 tahun. Tiga tahun, loh?
Memang semenggoda apa sih tubuh anak 3 tahun? Seseksi apa sih baju anak usia 3
tahun? Lain halnya jika pelaku tidak punya pikiran untuk melakukan pelecehan
seksual, jelas pelecehan seksual tidak akan pernah terjadi. Berdasarkan
alasan tersebut, jelaslah bahwa penyebab dari sexual harassment adalah pikiran
pelaku itu sendiri yang ingin melakukan pelecehan seksual.
Lantas, apakah kalian tidak memikirkan perasaan korban? Setelah mengalami tindakan traumatis seperti itu, ia masih harus disalahkan oleh masyarakat, mengalami trauma berkepanjangan, dan dijauhkan dari pergaulan masyarakat. Teman-temannya, keluarga besarnya, bahkan tetangganya mulai melihatnya dengan cara yang berbeda. Tatapan jijik mungkin. Lihat? Bahkan setelah seperti itu, pelaku justru play victim. Kalian tahu apa yang dikatakan pegawai starbucks itu setelah melakukan pelecehan seksual? "Memang keduanya (pelaku) juga mengenal korban ini, dia kenal, kemudian dia zoom (kamera CCTV). Bahkan salah seorang dari kedua ini memang senang kepada korban tersebut," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Jumat (3/7/2020). Saya tidak habis pikir, kalau kenal memangnya kenapa? Apakah alasan itu lantas membenarkan tindakan pelaku? Kalau kenal lalu boleh-boleh saja, sah-sah saja melakukan kekerasan seksual? Seharusnya dia malu melakukan tindakan seperti itu pada temannya sendiri.
Kita sadar, sexual harassment ini bisa terjadi pada siapa saja, bahkan anak kecil dan akhwat sekalipun yang sudah menutup auratnya. Alasan apapun itu yang dilontarkan pelaku tidak lantas bisa membenarkan perilakunya. Dia melakukan sexual harassment maka dia salah. Itu faktanya.
Berikut ini adalah sumber informasi yang saya dapatkan :

Komentar
Posting Komentar