Pendidikan Jadi Ranah Bisnis?
Ini yang saya dengar setahun yang lalu di lapangan rumput basah SMA Negeri 1 Purworejo. Bahkan saya sempat berteriak, berseru setuju dengan pidato mas menteri. Pidatonya menyerukan kebebasan pendidikan Indonesia yang ternyata hanya berubah nama tanpa adanya perubahan rupa. Tidak hanya itu, saya juga pernah membuat surat untuk mas Menteri yang berjudul “Teruntuk Bapak Nadiem Makarim”. Saya Shafira Khalisa Hanun, dengan sadar, dan sebenar-benarnya menulis surat itu dahulu, membela Pak Menteri yang saat itu diminta untuk turun jabatan. Ingat? Ketika ramai tagar di twitter Nadiem Makarim mundur saja. Saya membela karena punya harapan besar. Akan tetapi, ketika tadi saya berkunjung ke rumah adik saya yang ternyata sedang sibuk dengan pembelajaran daringnya, terdengarlah oleh kuping saya ini kabar bahwa pembelajaran daring seperti ini akan dipatenkan. Nee. Untuk ini, saya menyatakan keberatan. Bukan masalah “lalu gurunya kerja apa?”, tetapi banyak lubang di sana-sini yang ditimbulkan dari sistem hybrid (?) ini. PPDB berdasarkan umur? Itukah solusinya? KIP untuk beli kuota? Itukah solusinya? Bagaimana dengan orang tua yang seharusnya pergi bekerja, tetapi jadi sibuk mengurusi anaknya yang ada kelas zoom atau discort? Bagaimana dengan kisah guru SD yang naik motor menempuh jalanan lumpur di sana-sini untuk menghampiri muridnya, mengajar door to door? Serius tidak merasa kasihan? Bagaimana dengan PPDB yang menerima “titipan” jual beli bangku sekolah. Apakah sekarang pendidikan juga tentang bisnis? Kemarin titipan anak bupati, hari ini titipan anak menteri, lalu besok siapa lagi? Bagaimana dengan anak-anak yang tinggal di daerah 3T? Mungkin isu diskriminasi tidak kita rasakan karena kita notabene tinggal di Pulau Jawa, pusat Indonesia, kita tidak pernah merasakan (tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun) memiliki kulit gelap dan tinggal di daerah yang tidak memiliki jaringan internet dan sanitasi yang baik. Listrik saja tidak ada. Sedangkan, apa yang diungkapkan mas menteri ini dalam konferensi pers? “Kalaupun dia tidak punya listrik, nah itulah yang belum ada solusi dari Kemendikbud,” Rabu (15/4). Bahkan beliau mengatakan Kemendikbud sedang berusaha mendistribusikan buku, tetapi beliau mengaku proses ini akan memakan waktu yang lama. Masalahnya yang menjadi pertanyaan saya, sebelum pandemi ini, pembelajaran kan ber-basic buku. Jadi, selama ini, buku belum berhasil didistribusikan, even selama satu tahun ajaran? Saya paham maksud mas menteri yang ingin memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mendekatkan orang tua dan anak didik kepada teknologi. Indonesia memang perlu “melek” dengan teknologi, tetapi dengan fasilitas dan sarana yang masih seperti itu (?) Apakah cara ini proper untuk dilakukan?
Seluruh kata-kata yang saya sampaikan memiliki sumber yang jelas. Berikut ini sumber-sumber yang saya dapatkan :

Komentar
Posting Komentar