Sekarung Sampah untuk Society di Indonesia


Masalah mental illness tidak pernah se-simple itu untuk saya. Banyak orang yang mengira hanya dengan ucapan “semangat ya” dan “jangan lupa bersyukur” maka kesehatan mental seseorang akan kembali seperti semula. Nyatanya tidak demikian. Ketika seseorang sedang sedih atau sedang mengalami musibah, tak jarang saya temui kalimat “saya tau rasanya jadi kamu”. Salah. Kalian tidak pernah tau rasanya jadi dia. Even kalian punya masalah yang sama dengannya, kalian tidak tau rasanya, karena faktanya, kalian dan dia adalah orang yang berbeda. Setiap orang punya kadar rasa sakitnya masing-masing. Sama seperti sedang sakit raga, ada yang pingsan, ada yang masih bisa beraktivitas seperti biasa, ada yang pucat, dan sebagainya. Ada yang bilang suntik itu hanya seperti digigit semut, tetapi ada yang sampai pingsan hanya dengan melihat jarum suntik. Lagi-lagi, kalian tidak pernah tau rasanya jadi dia. Seberapa besar beban yang dia tanggung. Ketika kalian mengutarakan bercandaan yang bagi si dia justru terasa menyakitkan, dan kalian tetap melanjutkannya setelah melihat rautnya menikmati perbincangan yang kalian buat. Sekali lagi, kalian tidak tau bagaimana rasanya menjadi dia. Kalian tidak tau seberapa banyak dia memikirkan kalimat yang kata kalian hanya “bercanda” di rumahnya. Di saat kalian tidak melihatnya. Di saat kalian tau bahwa dia baik-baik saja. Kemudian lambat laun, ketika kalian tahu bahwa ucapan itu menyakitinya, kalian dengan tenangnya meminta maaf sambil berkata “jangan diambil hati ya kan cuma bercanda”. Tetapi nyatanya, bagi dia rasa sakitnya lebih dari sekadar “cuma bercanda”. Kemudian dengan entengnya kalian justru menyalahkan dia, “salahnya jadi orang baperan.” Di telinga saya justru terdengar seperti pelaku begal yang menyalahkan korban, “salahnya bawa motor.” Sama sekali tidak masuk akal. Memang dia yang minta untuk dibegal? Tidak, kan? Sama seperti dia, kalau bisa memilih, dia pasti memilih untuk tidak pernah mendengarkan kalimat menyakitkan yang kalian lontarkan dengan dalih “cuma bercanda” itu. Bahkan di saat seperti itu dia tidak punya hak untuk menyalahkan kalian karena kalian justru menjadikan karakter kalian sebagai tameng. “Aku emang gitu orangnya kalau ngomong tidak pernah dipikir.” Serius itu alasan? Sebatas pengetahuan biologi saya, semua ucapan pasti asalnya dari otak. Kalau tidak, berarti otak kalian memang letaknya di dengkul. Pernah suatu saat saya menghadiri acara yang sedang dalam suasana bela sungkawa. Kemudian saya dengar seseorang berkata “jangan sedih” atau “jangan nangis.” For God’s sake, dia baru saja kehilangan orang yang berarti di hidupnya dan kalian menyuruhnya untuk tidak bersedih? Kontradiksi sekali. Belum lagi menghadapi tipe orang yang menghibur kalian dengan kalimat “sudah jangan dengarkan kata orang lain.” Terlihat simple tetapi nyatanya tak pernah sesederhana itu. Kamu, kalian, mereka; dia tidak pernah bisa membungkam mulut orang lain, pilihannya hanya satu yaitu menutup telinganya rapat-rapat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

OSCE YUKKK!!!