Talking about Relationshit
I have just watched a TV show talking about a therapist trying to break down couples fighting in movie and TV scene. Tanggapanku setelah mendengar analisis dari si therapist adalah “Wahhh the problem is real yahh 😊” I mean, this is not just a movie or TV show, maybe this scene will happen in our real life. With our partner (if you have, lol :v or with your future partner).
The thing that I’m gonna say is we have to take responsibilities of our decision on making him/her as our partner. Whatever it takes! So, make sure that you make a right decision. The problem is bagaimana kita tahu bahwa kita membuat suatu keputusan yang benar atau salah dengan menjadikan dia sebagai partner hidup kita. That’s why we need what we called “A preparation”.
Aku
nggak bilang bahwa dengan “preparation” ini kalian akan mendapatkan 100%
apa yang kalian inginkan ada dalam pasangan kalian. Akan tetapi, setidaknya ini
merupakan sebuah langkah “prevention”. Prevention from a big disaster
:v
Masalah
itu selalu ada. Pasti. Justru itu yang mungkin akan menjadi penguat dalam suatu
hubungan. Hanya jika kalian berhasil menyelesaikan problem-nya. Kalau
tidak? Who knows idul fitri tahun depan atau Christmas yang akan
datang kalian sudah tidak bersama lagi.
So,
why we need a preparation? For example, ketika kita ingin menghadiri
suatu acara atau rapat, pasti kita akan memilih pakaian yang akan kita kenakan.
Benar? Kita pastikan bahwa pakaian yang kita kenakan cocok dengan tema acara
yang kita hadiri atau cocok dengan dresscode yang ditentukan. Kita pilih
pakaian yang kita suka dan yang kita merasa nyaman saat memakainya. Jadi, kalau
pakai baju saja kita milih, apalagi masalah pasangan. Apalagi kalau pasangan
itu for a whole of your life. In this case is marriage. So, that’s
why we need a preparation, NOT for changing your partner but for compromising
on your partner.
And this is my “preparation” process version.
First, being single is a choice. Kalau kalian merasa tidak sanggup mengatasi perkelahian yang mungkin terjadi dalam hubungan kalian atau kalian merasa tidak siap untuk membagi sebagian waktu kalian untuk partner kalian, then just don’t. Kalian nggak harus memaksakan kemampuan kalian kalau memang nggak sanggup. Maybe this time isn’t the right time. Mungkin tahun depan, lima tahun lagi, or maybe never. That’s your choice. Akan ada waktunya kalian yakin untuk melakukannya atau yakin untuk tidak melakukannya sama sekali.
Second, jangan buru-buru. Jangan hanya karena kalian melihat dia dalam pakaian terbaiknya, senyum terbaiknya, kondisi ekonomi terbaiknya, pertemanan terbaiknya, kondisi keluarga terbaiknya, stable pekerjaannya, dll kalian lantas memutuskan oh he’s the one or she’s the one for me. NO. Kalian juga harus lihat dia dalam kondisi terburuknya, kondisi sedihnya, kondisi marahnya, kondisi kecewanya, dan bagaimana cara dia get out from that kind of conditions. Bisa jadi kalau dia marah, dia mengekspresikannya dengan slapping your face atau banting beberapa barang di sekitarnya. Is it okay for you kalau dia seperti itu? Apakah kamu bisa berkompromi dengan itu? If it’s yes then go ahead. If it’s not, then you must be grateful karena kalian bisa lihat itu sebelum ambil keputusan.
Kalau kalian bertanya, kenapa harus melihat dia dalam kondisi terburuknya? Because if you decided to get into each other life, maka kamu bisa menjadi subjek atau objeknya. Example, mungkin saat itu kamu melihat dia menampar sahabatnya sendiri, tetapi suatu saat bisa saja kamu yang ditampar. Mungkin saat itu kamu melihat dia meninggalkan keluarganya, tetapi suatu saat bisa saja kamu yang ditinggalkan. Begitu juga sebaliknya, kamu bisa saja melakukan hal yang sama pada pasanganmu. That’s why preparation is a must. Supaya apa? Supaya kamu bisa tahu apa yang akan kamu lakukan kalau dia berlaku seperti itu, supaya kamu tahu bagaimana cara menyelesaikan problem-nya, supaya kamu tahu bagaimana cara mempertahankan your relationshit.
Third, kalian harus bisa merasa cukup. Pelajaran ini aku dapat dari sebuah film. Dalam film itu, si istri memiliki keinginan untuk mendapatkan pasangan yang 100% sesuai ekspektasinya. Singkat cerita, dia akhirnya menikah dengan seorang pria yang berhasil memberinya kehidupan yang stabil, rasa aman, dan kesetiaan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, si istri sadar bahwa suaminya ini hanya bisa memberinya 85% dari 100% ekspektasinya. And as you guys expected, it’s end up dengan si istri yang berusaha memenuhi kekurangan 15% itu, by finding someone else who can give 15% that her husband can’t give. Hanya dengan 15% itu akhirnya justru menghancurkan seluruh 85% yang sudah diberikan oleh suaminya. It’s pathetic, isn’t it? Pada akhirnya dia justru tidak mendapatkan apapun. So that’s why we need to feel enough.
Fourth, bagaimana kamu tahu kalau he’s or she’s the one after all of this preparation process? Nah, yang satu ini sulit dijawab. Because I also don’t have the answer, lol. If I have, I’m no longer a single :v. But I’m sure, kalau kalian bisa membayangkan ada masa depan with him/her, then kamu bisa mempertimbangkan dia as your partner 😊.
So, the point is don’t be afraid. Namanya juga proses. Kalau setelah upaya prevention ini tetap gagal bagaimana? Ya nggak gimana-gimana, kalian tetap akan melanjutkan kehidupan kalian, hanya saja tidak bersama partner kalian lagi. That’s it. Dunia nggak akan berakhir hanya karena kalian salah memilih partner hidup. Just because you make a wrong decision, it doesn’t mean you make a mistake. Your ex-partner is not a mistake, he’s just a process. Process that makes you more knowledgeable.
Komentar
Posting Komentar